Pura Uluwatu terletak di Desa Pecatu, sebuah Desa
yang terletak di kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung-Bali ini sangat
terkenal dengan objek wisata andalan yaitu Pura Uluwatu, desa ini juga terkenal
dengan tempat dimana banyak hotel & fasilitas wisata berada. Lokasi yang
sangat strategis dengan keindahan alam yang luar biasa membuat desa ini dipilih
oleh para investor untuk menanamkan modal usahanya, contohlah Bulgari Hotels
& Resorts, Bali, Alila Villas Uluwatu, The Istana, Tirtha Bali, The Edge,
The Khayangan estate dan masih banyak lagi hotel maupun wedding venue yang
dapat and temui di desa satu ini.
Pura Uluwatu berdiri kokoh dibatu
karang yang menjorok ke tengah lautan dengan ketinggian kurang lebih 97 meter
membuat pura ini menjadi sangat indah, tebing berbatu disekeliling pura
memberikan pemandangan yang sangat luar biasa dan sangat memanjakan mata para
wisatawan yang mengunjunginya. Selain itu laut dibawahnya juga tidak kalah
menariknya untuk mecuri perhatian para peselancar dunia untuk sekedar menikmati
ombak-ombak yang tercipta disebelah kanan Pura Uluwatu. Keindahan panorama
disekeliling Pura Uluwatu akan semakin memukau para wisatawan pada saat
matahari terbenam/sunset yang dapat dinikmati dari beberapa sisi tebing diseputar
pura, apalagi kemudian kehadiran tari kecak Uluwatu yang dipentaskan di
panggung terbuka membuat tempat wisata ini semakin diminati oleh wisatawan
seluruh dunia.
Tidak diketahui secara jelas kapan pura uluwatu
dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakreta pada masa pemerintahan suami-istri
Sri Msula-Masuli pada sekitar abad XI. Namun, ada fakta menarik dari tinggalan
historis di Pura Luhur Uluwatu. Tinggalan kuno di pura ini berupa candi
kurung atau kori gelung agung yang menjulang megah membatasi areal jaba
tengah dengan jeroan pura, diprediksi pura ini sudah ada sejak abad
ke-8. Candi kuno itu menatahkan hitungan tahun Isaka dengan candrasangkala
gana sawang gana yang berarti tahun Isaka 808 atau sekitar 886 Masehi.
Jadi, sebelum datangnya Mpu Kuturan ke Bali.
Pura Luhur Uluwatu memegang peranan penting sebagai
istadewata di Bali. Dalam padma bhuwana Bali, pura ini berada di
arah Barat Daya (nriti), tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dealam
manifestasi Rudra. Selain posisi geografis, keunikan lain dari Pura Luhur
Uluwatu adalah arah pemujaan yang menuju Barat Daya. Lazimnya, di parhyangan-parhyangan
lainnya, arah pemujaan menuju Timur atau Utara. Di sebelah kiri sebelum masuk
pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks pelinggih yang disebut Dalem
Jurit. Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti yang merupakan
tempat pemujaan Siwa Rudra. Di jaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada
sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini
dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu
adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak
air itu dikeramatkan karena keajaibannya itu. Keperluan air untuk bahan tirtha
cukup diambil dari bak air tersebut.
Dari jaba tengah ini kita terus masuk melalui Candi
Kurung Padu Raksa bersayap. Candi ini ada yang menduga dibuat pada abad ke-11
Masehi karena dihubungkan dengan Candi Kurung bersayap yang ada di Pura
Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap seperti
ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan Candra
Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna sbb:
Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun
1561 Masehi.
Candi Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur
sama dengan Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian
nampaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura
Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena
Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu. Setelah kita masuk
ke jeroan (bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu
Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah
bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai
Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau sejenis
hari besarnya Pura Luhur Uluwatu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia atau
setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Wuku.
Diceritakan pada suatu hari yakni pada Anggara
Kliwon, Wuku Medangsia, Danghyang Dwijendra menerima wahyu sabda Tuhan bahwa ia pada hari itu mesti berangkat ke
sorga. Pendeta Hindu asal Jawa Timur yang juga menjadi bhagawanta
(pendeta kerajan) Gelgel pada masa keemasan Dalem Waturenggong sekitar
1460-1550, merasa bahagia karena saat yang dinanti-nantikannya telah tiba.
Namun, pendeta yang juga memiliki nama Danghyang Nirartha itu masih menyimpan
satu pusataka yang bakal diberikan kepada putranya. Di bawah ujung Pura
Uluwatu, tampak seorang nelayan bernama Ki Pasek Nambangan. Danghyang Dwijendra
meminta agar Ki Pasek Nambangan mau menyampikan kepada anaknya, Empus Mas di
desa Mas bahwa Danghyang Dwijendra menaruh sebuah pustaka di Pura Luhur
Uluwatu. Ki Pasek Nambangan pun memenuhi permintaan Danghyang Nirartha.
Sementra Ki Pasek Nambangan pergi, Danghyang Dwijendra melakukan yoga samadhi.
Akhirnya, sang maharsi pun moksa ngeluhur, cepat sebagai kilat terbang
ke angkasa. Ki Pasek Nambangan hanya melihat cahaya cemerlang mengangkasa.
Cerita ini kemudian berkembang menjadi kepercayaan masyarakat setempat
dan Hindu di Bali. Bahwa keberadaan Pura Uluwatu memainkan peran yang sangat
penting dalam kehidupan beragama masyarakat Hindu di Bali. Booking di SINI
No comments:
Post a Comment